Senin, 10 September 2018

Memahami Tantangan Kompleksitas Tambang Bawah Tanah

Kabar Berita Terkini - Awal 2016 jadi waktu yang cukuplah berat buat PT Freeport Indonesia. Saat itu, izin export konsentratnya disetop sesaat karena karena belumlah penuhi kriteria utamanya, yaitu berstatus Izin Usaha Pertambangan Spesial (IUPK).

Pekerjaan penambangan di tambang terbuka Grasberg alami penurunan mencolok. Akhirnya, tingkat produksi konsentrat tembaga juga berkurang.

Akan tetapi, ada yang menarik dari terhentinya izin export konsentrat Freeport Indonesia. Walau pekerjaan di tambang terbukanya hampir berhenti, lainnya perihal dengan pekerjaan yang berjalan di tambang bawah tanahnya. Pekerjaan penambangan bijih selalu berjalan tiada henti.

Mengenai sekarang ini, Freeport Indonesia tengah meningkatkan beberapa blok pertambangan bawah tanah. Beberapa blok telah beroperasi serta mengahsilkan bijih yang akan di proses jadi konsentrat, yaitu Deep Ore Zona, Deep Mill Level Zona, Big Gossan, serta Grasberg Block Cave. Sesaat Blok Kucing Liar diprediksikan baru beroperasi pada 2025.

Memahami Tantangan Kompleksitas Tambang Bawah Tanah
Memahami Tantangan Kompleksitas Tambang Bawah Tanah


Bukan tiada argumen tambang bawah tanah itu selalu beroperasi saat izin export belumlah menjumpai kepastian. Masalahnya cara yang digunakan untuk tambang bawah tanah Freeport Indonesia ialah block caving.

Cara itu dikerjakan dengan menggali terowongan ke tempat cadangan bijih didalam tanah serta meledakkan tubuh bijihnya. Sesudah hancur, bijih lalu ditarik lewat jalur-jalur terowongan spesial.

Cara yang digunakan itu 'memaksa' Freeport Indonesia untuk selalu beroperasi. Bila penambangan dengan cara block caving itu dihentikan, karena itu dapat berlangsung tidak seimbangan tegangan didalam tanah. Hal itu bisa menyebabkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang dengan permanen.

Bila itu yang berlangsung, karena itu kekuatan bijih yang dapat tertambang akan hilang. Bahkan juga, menurut Ikatan Pakar Geologi Indonesia (IAGI), cost pemulihan tambang yang roboh itu dapat sampai US$20 miliar. Angka cukuplah membuat pekerjaan penambangan disana tidak ekonomis lagi.

Hal tersebut juga yang pada akhirnya jadi rintangan buat PT Inalum (Persero) yang tidak lama lagi sah jadi pemegang saham sebagian besar Freeport Indonesia. Masalahnya perusahaan pelat merah tesebut memang akan semakin banyak ikut serta dalam penambangan bawah tanah.

Seperti didapati, tambang terbuka Grasberg sekarang ini telah masuk step yang terakhir serta siap-siap untuk masuk step penutupan. Berarti, Inalum akan ditempatkan pada beberapa rintangan baik di bagian manajemen ataupun pengelolaan tehnis tambang bawah tanah yang begitu susah.

Tiada memperkecil peranan serta potensi perusahaan tambang nasional, perlu untuk diketahui, cara block caving yang tengah dioperasikan Freeport Indonesia sekarang ini jadi yang terumit serta paling sulit dalam dunia.

Panjang terowongannya saja sekarang ini telah seputar 700 km. (km). Panjang terowongan itu selalu makin bertambah sampai lebih dari 1.000 km bersamaan dengan peningkatan tambang bawah tanah yang selalu berjalan.

Dari bagian alat, cuma perlengkapan tambang dengan kualitas nomer satu saja yang dapat menjalankan tambang itu dengan maksimal. Oleh karenanya, dapat disebutkan baru Freeport saja yang dapat menjalankan tambang sekompleks yang berada di lokasi Grasberg.

Dengan memperhitungkan beberapa hal itu, begitu lumrah jika dalam operasinya, pihak Freeport masih tetap memegang peranan utama. Tidak hanya untuk operasi periode panjang, Inalum juga butuh berkerja sama juga dengan pihak Freeport dalam waktu transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah yang biayanya diprediksikan dapat sampai US$5 miliar.

Tiga tahun ke depan juga dapat disebut jadi masa-masa penting buat Freeport Indonesia untuk selekasnya meningkatkan produksi tambang bawah tanahnya. Masalahnya sesudah penutupan tambang terbuka Grasberg pada 2019, produksi diprediksikan anjlok sampai 2021.

Di sinilah potensi tehnis Freeport menjadi operator begitu diperlukan. Diluar itu, rencana yang sudah dibikin untuk periode panjang juga jadi point plus buat Freeport untuk masih memegang kendali dalam pekerjaan operasi penambangannya.

Mengenai selama periode 2018-2041, pihak Freeport sudah memproyeksikan berbelanja modal (capital expenditure/capex) untuk tambang bawahnya dengan cukuplah detil.

Perlu untuk diketahui, keseluruhan investasi yang telah di keluarkan untuk tambang bawah tanah sampai US$6,5 miliar, ditambah lagi untuk investasi simpatisan sebesar US$2,7 miliar. Menjadi, totalnya seputar US$9,2 miliar s/d 2018.

Dana yang akan di keluarkan bukan hanya itu saja. S/d operasi penuh tambang bawah tanah, Freeport Indonesia tetap harus menggelontorkan dana US$1,5 miliar per tahun. Inalum tidak turut keluarkan dana untuk ini karena Freeport Indonesia akan memikul sendiri keperluan dana itu.

Lantas, bagaimana dengan peranan Inalum menjadi pemegang saham sebagian besar?

Pemilik saham sebagian besar, tentunya kendali menajemen masih berada di tangan Inalum. Berarti, beberapa ketetapan strategis berkaitan perusahaan masih tetap berada di pihak nasional. Karenanya ada kolaborasi itu, pekerjaan pertambangan Freeport Indonesia diinginkan dapat memberi peran yang maksimal pada negara dengan periode panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar